Senin, 10 November 2014

[Fanfiction] Platonik


Platonik
.
.
“Aku, si platonik, yang ingin jadi romantik.”
.
.
                Ajakan kencan pertama terucap sekitar tiga tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah merekaCaraka dan Nadya, jadian. Pertemuan dan jalan-jalan yang sering mereka lakukan sebelumnya, tak pernah dihitung sebagai kencan. Karena, ya, itu memang bukan kencan. Yang mereka lakukan hanya jalan bersama ke toko buku, ke pameran buku, ke perpustakaan nasional, ke pameran lukisan, dan sederet hal yang disebut pameran-pameran lainnya.
                Kencan pertama dilakukan di sebuah café sederhana. Dengan menu serba dissert yang sangat murah, setelan kaus dan jeans belel, juga alunan musik klasik yang lembut; tapi semua terasa sempurna.
                Sayangnya, belum ada kali kedua.
                Dan setelah dua tahun berlalu, tiba-tiba saja Caraka merasa ingin melakukannya lagi.
                “Kayaknya, dokumenter emang paling cocok, deh, Ka.”
                “Huh?”
                Hanya itu yang dapat ia gumamkan. Tadi, memang mereka tengah mendiskusikan film apa yang akan Caraka buat untuk proyek pertamanya di kampus. Ah, ya, setelah lulus setahun yang lalu, akhirnya Caraka mengambil jurusan perfilmannya di IKJ. Entah mengapa, rencananya untuk meneruskan kuliah ke luar negeri terhapus seketika. Benar, ia ternyata tak bisa meninggalkan Mamanya. Dan juga
                entitas gadis di sampingnya ini.
                Adalah Nadya. Gadis keras kepala yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali. Satu-satunya gadis yang membuatnya mati-matian beralih dari film-film serta buku-buku tentang Sejarah ke film-film dan buku-buku berbau romantik. Satu-satunya gadis, yang saat tersenyum, membuatnya seketika itu juga ingin menghentikan waktu, merekam senyum itu lamat-lamat, untuk kemudian ia jadikan film dokumentasi pribadinya dengan judul norak semacam “The most beautiful smile I’ve ever seen”.
                Satu-satunya gadis yang mengusik keplatonikan diri seorang Caraka.
                “Raka, kamu dengar aku?” Gadis itu berujar lagi.
                Adakah hal lain yang dapat ia dengar jika suara gadis itu selalu terpatri pada posisi terdepan dalam indra pendengarannya?
                “Uh-um.” Carak bergumam sebelum melanjutkan. “Ng … ngomongin filmnya nanti lagi aja, deh. Laper.” Ia menatap Nadya disertai dengan cengiran khas bersemayan di belah bibirnya.
                Dan saat Nadya membalasnya dengan senyum, sesuatu dalam dada Caraka berdetak sangat cepat dengan kurang ajarnya.
                “Rebus mie aja nggak apa-apa, ya?”
                Sungguh, mereka sudah bersama selama tiga tahun, namun hingga sekarang, Caraka tak pernah terbiasa dengan senyum manis Nadya.
.
.
                Bagi Caraka, yang terpenting adalah kehadiran gadis itu yang statis di dalam harinya yang dinamis.
                “Halo?”
                Panggilan itu dijawab Nadya setelah dering keempatkebiasaan yang sudah Caraka hapal dari diri gadis itu. Siapapun yang menelepon, selalu saja akan Nadya jawab tepat setelah dering keempat berbunyi.
                “Keluar jam berapa, Nad?”
                Nyatanya, Jakarta-Depok bukanlah jarak yang dekat untuk hitungan duapertiga hari yang telah lewat ini. Nadya melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran UI, impiannya. Caraka masih melangkah pelan, menghampiri halte yang berada di dekat Universitas ternama itu seperti kebiasaannya saat menunggu Nadya. Tak pernah kenal kata lelah walau sehari tadi waktunya dihabiskan di kampus. Ah, yang ia butuhkan sekarang adalah pengisi ulang semangatnya.
                “Kayaknya masih lama, Ka. Aku ada praktek bedah katakugh. Dan ini belum sampe setengahnya aku pretelin. Lagi istirahat salat Isya. Kamu udah sampai Depok? Kalau belum, balik pulang aja, ya.” Ujar gadis itu panjang lebar. Caraka hanya mengerutkan kening. Jujur, tidak? Tidak, jujur?
                “Uh-um.”
                “Hih, kebiasaan, jawab pake kata absurd gitu. Jadi, lagi di mana?” Serunya lagi.
                Caraka tersenyum. Ah, demi apa barusan ia sempat berpikir untuk berbohong pada gadis ini?
                “Udah di halte.
                Beberapa detik, Nadya tak langsung menjawab.
                “Ahhh, yaudah kamu tunggu situ bentar, aku otw sana. Tapi, ketemunya sebentar nggak apa-apa, ya?” Serunya kemudian.
                “Nad
                kebiasaan, sih, kamu, Ka. Nggak bilang-bilang kalau otw Depok. Kalau gini, kan, bisa-bisa kamunya yang kecapekan nunggu aku.”
                “Nad,”
                “Besok-besok bikin duplikasi kunci kost aku, deh, Ka. Buat kamu pegang satu.”
                “Nadya,”
                “Atau kalau emang kesorean, nggak sempet ketemu juga nggak apa-apa
                NADYA, bisa dengerin aku dulu?”
                Caraka sedikit membentak. Nadya terdiam. Keduanya terdiam. Napas mereka tiba-tiba saja terdengar sangat jelas. Sedikit memburu, membentuk gemerisik khas di antara speaker kedua telepon genggam itu.
                “Kamu harus selesaiin tugas kamu dulu sebelum nemuin aku, oke? Aku bakal nunggu di sini.” Kata Caraka, suaranya kini terdengar begitu lembut di telinga Nadya.
                “Tapi, Ka…”
                “Bakal aku tunggu, Nadya. Sampai kamu selesai.” Ulangnya lagi. “Sampai kapan pun.”
                Dan sayangnya, Caraka tidak dapat melihat kedua biner Nadya, yang entah mengapa, kini sudah berkaca-kaca.
                “O-oke.”
                “Dan satu lagi.” Sambung Caraka, “mungkin kamu bisa nggak ketemu aku barang sehari.” Ia menghela napas. “Tapi, aku nggak.”
                Sambungan diputus Caraka.
                Untuk sesaat, pemuda itu mengumpat dalam hati. Mengapa ia tak pernah bisa mengakhiri telepon dengan ucapan manis? Selalu seperti itu.
                Tapi, yang Caraka tidak tahu, di seberang sana, Nadya tengah tersenyum dalam tangis harunya.
                Perhatian kecil pemuda itu, yang selalu terdengar implisit dan mengandung paradoks, semuanya sudah cukup membuatnya merasa sangat dicintai.
.
.
                Terkadang, ia merasa mencintai gadis itu secara klandestin.
                Ia tak tahu, apakah di usianya yang hampir berada di ujung belasan, adjektif cinta sudah pantas diumbar dari mulutnya? Rasanya, belum. Atau memang dirinya yang terlalu naïf dan tak peduli? Entahlah, yang jelas, Caraka belum pernah mengucapkan kata itu pada Nadya. Ia rasa, cinta masih terlalu … berat untuk dipertanggungjawabkan.
                Bukan berarti ia tak cinta gadis itu, bukan. Demi seluruh buku yang pernah ia baca, Nadya adalah satu-satunya dan gadis yang pertama membuatnya jatuh cinta.
                “Lebih suka dinarasiins pakai kata-kata biasa atau sajak-sajak indah, Nad?” Caraka mengutak-atik laptopnya. Di sampingnya, Nadya. tengah sibuk pada kamera DSLR kepunyaan kekasihnya. Sesekali ia tersenyum, saat kiranya ada gambar yang tak biasa atau mengocok perutnya.
                “Kayaknya pakai sajak bagus.” Balas Nadya pelan. “Tapi, masa dokumenter dinarasiin pakai sajak?”
                Caraka mengalihkan atensinya dari layar laptop, memandang Nadya. “Emang nggak boleh?”
                “Yaaaa, nggak ada yang bilang nggak boleh, sih.”
                Caraka menggumam menyetujui, kemudian kembali menekuri laptop.
                “Kadang aku berpikir, kamu itu lebih cocok jadi sastrawan, Ka.” Nadya berbicara lagi. Dirinya beringsut mendekati entitas pria tak jauh darinya, ikut meneliti apa yang tengah pemuda itu perhatikan.
                “Uh-um?” Gumaman itu kembali menjadi balasan.
                “Iya, darah sastra kamu suka muncul kapan aja.” Gadis itu meletakkan DSLR yang dipegangnya, meluruskan kaki jenjangnya. “Dan, puisi kamu juga bagus-bagus.”
                Caraka sedikit menyeringai mendengar kalimat terakhir Nadya, membuat wajah gadis itu memanas tiba-tiba. Ah, padahal maksud Nadya bukan untuk memujinya. Gadis itu memukul bahu Caraka main-main, sedikit banyak dilakukan untuk sekadar mengalihkan keadaan. Membuktikan seringaian pemuda itu mampu menggusarkan sesuatu dalam dadanya.
                “Ge-er banget, sih, kamu.”
                Yang dipukul hanya melebarkan seringainya, seraya mengacak rambut Nadya sekilas. Hal itu cukup untuk membuat hati keduanya berdesir hangat. Caraka ingat, relasi fisik antara ia dan Nadya memang tak banyak. Di saat pasangan-pasangan lain tengah sibuk mengumbar kemesraan, mereka bertahan pada kondisi seperti ini. Meskipun ingin, Caraka merasa seperti ini lebih baik. Hal fisik paling intim yang mereka lakukan, ya, seperti tadi; memukul bahu untuk Nadya, mengacak rambut bagi Caraka, dan kalau sedang beruntung, keduanya bisa saling menemukan buku-buku jari meraka dalam genggaman satu sama lain.
                “Kamu bilang begitu karena belum pernah lihat hasil film aku, Nad.” Yang adam melanjutkan. “Kalau udah lihat, dijamin, kamu bakal bingung nentuin aku lebih baik jadi sastrawan atau movie-maker!”
                “Yeah, sama aja intinya, ya. Ge-er. Narsis.”
                “Biarin.” Caraka menjulurkan lidah main-main. “Lagian Nad, di zaman sekarang, kita ini harus multifungsi. Emang kamu tahu, waktu bakal bawa kamu ke mana?”
                Nadya menggeleng. Seraya menggumam dalam hati; ke mana saja, asal sama kamu, aku nggak keberatan, Ka.
                Caraka berujar. “Waktu berjalan satu arah saja. Tetapi ia bukan garis lurus
                Ia penuh kelokan yang mengejutkan.” Gadis di sebelahnya meneruskan dengan bersemangat. “Kebiasaan kamu yang satu itu nggak pernah bisa diubah, Ka. Sok-sok ngasih kata mutiara, tapi ngutip dari buku.” Nadya bersorak main-main pada Caraka.
                Caraka hanya mengulum senyum. Nadya juga lah satu-satunya gadis yang akan langsung tahu dengan kebiasaannya ini; berbicara dengan mengutip kalimat di dalam buku atau film. Walau tidak begitu menyukai sastra dan semacamnya, ia tahu bahwa Nadya adalah gadis pintar yang memiliki sejuta pengetahuan. Seperti tadi, Nadya bahkan langsung tahu kalau ia mengutip salah satu puisi WS Rendra yang berjudul ‘Perempuan yang Tergusur’.
                Well, aku nggak begitu suka sastra. Tapi aku bukan cewek bodoh, lho, Ka…”
                Caraka tahu. Sangat tahu itu.
.
.
                Senja mulai hilang, eksistensinya digantikan oleh sejumput hitam yang menaungi. Malam, namanya. Hujan baru saja berhenti, seolah mengerti bahwa bulan tak ingin diganggu oleh padanan rintik.
                Dua pasang kaki melangkah statis, yang satu memakai sneakers cokelat tua yang warnanya sudah memudar, yang satu memakai flat shoes hitam berpita. Meski begitu, langkah mereka seirama. Selalu, dan akan selalu seperti itu.
                “Maaf, ya, Nad, aku nggak pernah bisa bikin kejutan anniversary yang manis.” Caraka mengujar di antara langkah mereka. Suaranya terdengar berat dan sedikit tercekat. Jika ditilik dari ekspresinya, wajahnya kaku dan tak lembut seperti biasa.
                Gadis di sebelahnya masih terdiam. Tubuhnya terasa dingin, akibat liquid-liquid hujan mengguyurnya belum lama ini. Bajunya basah, begitu pun dengan pemuda di sampingnya.
                “Malah bikin kue kita hancur dan kamu kuyup begini…” Lanjut Caraka.
                Nadya menggeleng pelan, sama sekali tak bermaksud membuat Caraka melankolis seperti ini. Kue anniversary yang ia beli memang hancur karena hujan tadi, dikarenakan Caraka yang memintanya merayakan hari jadi di taman bermain terbuka. Padahal, Nadya meminta merayakannya di kost-nya saja. Bajunya pun basah, tapi sungguh, ia tak menyalahkan Caraka.
                Tetapi raut penyesalan sangat dengan mudah tertangkap dari wajah pemuda itu. Sesaat setelah kue mereka hancur terkena hujan, perasaan bersalah menggerogotinya. Lagi-lagi ia menyesali dirinya yang platonik. Mengapa tidak pergi ke café atau restauran saja yang bernilai romantik?
                “Udahlah, Ka. Aku nggak apa-apa, kok. Lagi pula, heiini seru!”
                Caraka tak mengubah ekspresinya. Ia menoleh pada Nadya yang sedang tersenyum, hatinya tergelitik. “Maaf ya, Nad, aku ini … emang bener-bener nggak romantis.”
                Helaan napas terdengar dari gadis di sampingnya, “Raka …apa kamu kira aku selalu menilai cowok dari keromantisannya?”
                “Tapi aku selalu ngerasa jadi platonik di hadapan kamu, Nad. Dan aku tahu, suatu saat, kamu ingin yang lebih dari ini.”
                “Seperti?”
                Romantically?”
                Sekali lagi, Nadya menghela napas. “Ka … aku nerima kamu bukan hanya untuk hal seperti itu.” Netra lembut Nadya menatapnya dalam-dalam. “Yang terpenting, bahwa kamu selalu ada kapan pun aku butuh.”
                Caraka memalingkan atensinya, karena kalau tidak, ia takut Nadya melihat matanya yang berkaca-kaca.
                “Aku nggak pernah nuntut kamu jadi romantik, Ka.” Nadya melanjutkan. “it’s been enough. Begini saja cukup.”
                Kali ini, ia menoleh. Mendapati wajah Nadya menatapnya seperti itu, sesuatu dalam dadanya tidak dapat ditahan lagi. Dengan lembut, Caraka meraih tubuh Nadya, menariknya sedikit, lalu mengecup bibirnya pelan.
                Dan cepat.
                Saat saling melepaskan, wajah keduanya memerah. Setelah bertahun-tahun, inilah ciuman pertama mereka.
                Menghilangkan salah tingkah, Caraka buru-buru berujar. “I just want you to know that you’re very special … and the only reason I’m telling you is
                that I don’t know if anyone else ever has.” Nadya buru-buru melanjutkan dengan senyum penuh kemenangan di antara rona pipinya. Ia menepuk pelan pipi Caraka. “Kayaknya kamu harus mulai belajar bikin kata-kata sendiri, deh, Ka. Jangan ngutip buku atau film terus kalau mau gombal!”
                “Aaaku lupa kamu udah baca The Perks of being Wallflower.”
                “Bahkan kamu minjem bukunya ke aku, Raka!”
                Caraka tertawa lebar. Begitu pun Nadya.
                Meleka melangkah melewati malam. Menelusuri jalan-jalan becek bekas sisa hujan petang tadi. Menghirup bau rumput serta petrichor. Saling menggenggam tangan satu sama lain dengan erat.
                “Nad, kalau kapan-kapan aku ngajak kamu kencan lagi … kamu mau?”
                Nadya menoleh, biner indahnya berbinar penuh kegembiraan.
                I thought you’d never ask.”
.
.
End.
.
.
a/n:
Let Go (beserta Caraka dan Nadya) punya Kak Windhy Puspitadewi
Platonik punya Hidya Nuralfi Mentari ;p
Menulis tentang mereka karena … rindu. Rindu Caraka dan Nadya yang saling mencintai dengan sederhana :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar