Platonik
.
.
“Aku, si
platonik, yang ingin jadi romantik.”
.
.
Ajakan kencan pertama terucap
sekitar tiga tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah mereka—Caraka dan Nadya,
jadian. Pertemuan dan jalan-jalan yang sering mereka lakukan sebelumnya, tak
pernah dihitung sebagai kencan. Karena, ya, itu memang bukan kencan. Yang
mereka lakukan hanya jalan bersama ke toko buku, ke pameran buku, ke
perpustakaan nasional, ke pameran lukisan, dan sederet hal yang disebut
pameran-pameran lainnya.
Kencan pertama dilakukan di
sebuah café sederhana. Dengan menu serba dissert
yang sangat murah, setelan kaus dan jeans
belel, juga alunan musik klasik yang lembut; tapi semua terasa sempurna.
Sayangnya, belum ada kali kedua.
Dan setelah dua tahun berlalu,
tiba-tiba saja Caraka merasa ingin melakukannya lagi.
“Kayaknya, dokumenter emang
paling cocok, deh, Ka.”
“Huh?”
Hanya itu yang dapat ia
gumamkan. Tadi, memang mereka tengah mendiskusikan film apa yang akan Caraka
buat untuk proyek pertamanya di kampus. Ah, ya, setelah lulus setahun yang lalu,
akhirnya Caraka mengambil jurusan perfilmannya di IKJ. Entah mengapa,
rencananya untuk meneruskan kuliah ke luar negeri terhapus seketika. Benar, ia
ternyata tak bisa meninggalkan Mamanya. Dan juga—
—entitas gadis di
sampingnya ini.
Adalah Nadya. Gadis keras kepala
yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali. Satu-satunya gadis yang
membuatnya mati-matian beralih dari film-film serta buku-buku tentang Sejarah
ke film-film dan buku-buku berbau romantik. Satu-satunya gadis, yang saat
tersenyum, membuatnya seketika itu juga ingin menghentikan waktu, merekam
senyum itu lamat-lamat, untuk kemudian ia jadikan film dokumentasi pribadinya
dengan judul norak semacam “The most
beautiful smile I’ve ever seen”.
Satu-satunya gadis yang mengusik
keplatonikan diri seorang Caraka.
“Raka, kamu dengar aku?” Gadis
itu berujar lagi.
Adakah hal lain yang dapat ia
dengar jika suara gadis itu selalu terpatri pada posisi terdepan dalam indra
pendengarannya?
“Uh-um.” Carak bergumam sebelum
melanjutkan. “Ng … ngomongin filmnya nanti lagi aja, deh. Laper.” Ia menatap
Nadya disertai dengan cengiran khas bersemayan di belah bibirnya.
Dan saat Nadya membalasnya
dengan senyum, sesuatu dalam dada Caraka berdetak sangat cepat dengan kurang
ajarnya.
“Rebus mie aja nggak apa-apa,
ya?”
Sungguh, mereka sudah bersama
selama tiga tahun, namun hingga sekarang, Caraka tak pernah terbiasa dengan
senyum manis Nadya.
.
.
Bagi Caraka, yang
terpenting adalah kehadiran gadis itu yang statis di dalam harinya yang dinamis.
“Halo?”
Panggilan itu dijawab Nadya
setelah dering keempat—kebiasaan yang sudah Caraka hapal dari diri
gadis itu. Siapapun yang menelepon, selalu saja akan Nadya jawab tepat setelah
dering keempat berbunyi.
“Keluar jam berapa, Nad?”
Nyatanya, Jakarta-Depok bukanlah
jarak yang dekat untuk hitungan duapertiga hari yang telah lewat ini. Nadya
melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran UI, impiannya. Caraka masih melangkah
pelan, menghampiri halte yang berada di dekat Universitas ternama itu seperti
kebiasaannya saat menunggu Nadya. Tak pernah kenal kata lelah walau sehari tadi
waktunya dihabiskan di kampus. Ah, yang ia butuhkan sekarang adalah pengisi
ulang semangatnya.
“Kayaknya masih lama, Ka. Aku
ada praktek bedah katak—ugh. Dan ini belum sampe setengahnya aku pretelin. Lagi istirahat salat Isya.
Kamu udah sampai Depok? Kalau belum, balik pulang aja, ya.” Ujar gadis itu
panjang lebar. Caraka hanya mengerutkan kening. Jujur, tidak? Tidak, jujur?
“Uh-um.”
“Hih, kebiasaan, jawab pake kata
absurd gitu. Jadi, lagi di mana?” Serunya lagi.
Caraka tersenyum. Ah, demi apa
barusan ia sempat berpikir untuk berbohong pada gadis ini?
“Udah di halte.”
Beberapa detik, Nadya tak
langsung menjawab.
“Ahhh, yaudah kamu tunggu situ
bentar, aku otw sana. Tapi, ketemunya
sebentar nggak apa-apa, ya?” Serunya kemudian.
“Nad—”
“—kebiasaan, sih,
kamu, Ka. Nggak bilang-bilang kalau otw Depok.
Kalau gini, kan, bisa-bisa kamunya yang kecapekan nunggu aku.”
“Nad,”
“Besok-besok bikin duplikasi kunci
kost aku, deh, Ka. Buat kamu pegang satu.”
“Nadya,”
“Atau kalau emang kesorean,
nggak sempet ketemu juga nggak apa-apa—”
“—NADYA, bisa
dengerin aku dulu?”
Caraka sedikit membentak. Nadya
terdiam. Keduanya terdiam. Napas mereka tiba-tiba saja terdengar sangat jelas.
Sedikit memburu, membentuk gemerisik khas di antara speaker kedua telepon genggam itu.
“Kamu harus selesaiin tugas kamu
dulu sebelum nemuin aku, oke? Aku bakal nunggu di sini.” Kata Caraka, suaranya kini
terdengar begitu lembut di telinga Nadya.
“Tapi, Ka…”
“Bakal aku tunggu, Nadya. Sampai
kamu selesai.” Ulangnya lagi. “Sampai kapan pun.”
Dan sayangnya, Caraka tidak
dapat melihat kedua biner Nadya, yang entah mengapa, kini sudah berkaca-kaca.
“O-oke.”
“Dan satu lagi.” Sambung Caraka,
“mungkin kamu bisa nggak ketemu aku barang sehari.” Ia menghela napas. “Tapi,
aku nggak.”
Sambungan diputus Caraka.
Untuk sesaat, pemuda itu
mengumpat dalam hati. Mengapa ia tak pernah bisa mengakhiri telepon dengan
ucapan manis? Selalu seperti itu.
Tapi, yang Caraka tidak tahu, di
seberang sana, Nadya tengah tersenyum dalam tangis harunya.
Perhatian kecil pemuda itu, yang
selalu terdengar implisit dan mengandung paradoks, semuanya sudah cukup
membuatnya merasa sangat dicintai.
.
.
Terkadang, ia merasa mencintai
gadis itu secara klandestin.
Ia tak tahu, apakah di usianya
yang hampir berada di ujung belasan, adjektif cinta sudah pantas diumbar dari
mulutnya? Rasanya, belum. Atau memang dirinya yang terlalu naïf dan tak peduli?
Entahlah, yang jelas, Caraka belum pernah mengucapkan kata itu pada Nadya. Ia
rasa, cinta masih terlalu … berat untuk dipertanggungjawabkan.
Bukan berarti ia tak cinta gadis
itu, bukan. Demi seluruh buku yang pernah ia baca, Nadya adalah satu-satunya
dan gadis yang pertama membuatnya jatuh cinta.
“Lebih suka dinarasiins pakai
kata-kata biasa atau sajak-sajak indah, Nad?” Caraka mengutak-atik laptopnya.
Di sampingnya, Nadya. tengah sibuk pada kamera DSLR kepunyaan kekasihnya.
Sesekali ia tersenyum, saat kiranya ada gambar yang tak biasa atau mengocok
perutnya.
“Kayaknya pakai sajak bagus.”
Balas Nadya pelan. “Tapi, masa dokumenter dinarasiin pakai sajak?”
Caraka mengalihkan atensinya
dari layar laptop, memandang Nadya. “Emang nggak boleh?”
“Yaaaa, nggak ada yang bilang
nggak boleh, sih.”
Caraka menggumam menyetujui,
kemudian kembali menekuri laptop.
“Kadang aku berpikir, kamu itu
lebih cocok jadi sastrawan, Ka.” Nadya berbicara lagi. Dirinya beringsut
mendekati entitas pria tak jauh darinya, ikut meneliti apa yang tengah pemuda
itu perhatikan.
“Uh-um?” Gumaman itu kembali
menjadi balasan.
“Iya, darah sastra kamu suka
muncul kapan aja.” Gadis itu meletakkan DSLR yang dipegangnya, meluruskan kaki
jenjangnya. “Dan, puisi kamu juga bagus-bagus.”
Caraka sedikit menyeringai
mendengar kalimat terakhir Nadya, membuat wajah gadis itu memanas tiba-tiba.
Ah, padahal maksud Nadya bukan untuk memujinya. Gadis itu memukul bahu Caraka
main-main, sedikit banyak dilakukan untuk sekadar mengalihkan keadaan.
Membuktikan seringaian pemuda itu mampu menggusarkan sesuatu dalam dadanya.
“Ge-er banget, sih, kamu.”
Yang dipukul hanya melebarkan
seringainya, seraya mengacak rambut Nadya sekilas. Hal itu cukup untuk membuat
hati keduanya berdesir hangat. Caraka ingat, relasi fisik antara ia dan Nadya
memang tak banyak. Di saat pasangan-pasangan lain tengah sibuk mengumbar
kemesraan, mereka bertahan pada kondisi seperti ini. Meskipun ingin, Caraka
merasa seperti ini lebih baik. Hal fisik paling intim yang mereka lakukan, ya,
seperti tadi; memukul bahu untuk Nadya, mengacak rambut bagi Caraka, dan kalau
sedang beruntung, keduanya bisa saling menemukan buku-buku jari meraka dalam
genggaman satu sama lain.
“Kamu bilang begitu karena belum
pernah lihat hasil film aku, Nad.” Yang adam melanjutkan. “Kalau udah lihat,
dijamin, kamu bakal bingung nentuin aku lebih baik jadi sastrawan atau movie-maker!”
“Yeah, sama aja intinya, ya.
Ge-er. Narsis.”
“Biarin.” Caraka menjulurkan
lidah main-main. “Lagian Nad, di zaman sekarang, kita ini harus multifungsi.
Emang kamu tahu, waktu bakal bawa kamu ke mana?”
Nadya menggeleng. Seraya
menggumam dalam hati; ke mana saja, asal
sama kamu, aku nggak keberatan, Ka.
Caraka berujar. “Waktu berjalan
satu arah saja. Tetapi ia bukan garis lurus—”
“—Ia penuh kelokan
yang mengejutkan.” Gadis di sebelahnya meneruskan dengan bersemangat.
“Kebiasaan kamu yang satu itu nggak pernah bisa diubah, Ka. Sok-sok ngasih kata
mutiara, tapi ngutip dari buku.” Nadya bersorak main-main pada Caraka.
Caraka hanya mengulum senyum.
Nadya juga lah satu-satunya gadis yang akan langsung tahu dengan kebiasaannya
ini; berbicara dengan mengutip kalimat di dalam buku atau film. Walau tidak
begitu menyukai sastra dan semacamnya, ia tahu bahwa Nadya adalah gadis pintar
yang memiliki sejuta pengetahuan. Seperti tadi, Nadya bahkan langsung tahu
kalau ia mengutip salah satu puisi WS Rendra yang berjudul ‘Perempuan yang
Tergusur’.
“Well, aku nggak begitu suka sastra. Tapi aku bukan cewek bodoh,
lho, Ka…”
Caraka tahu. Sangat tahu itu.
.
.
Senja mulai hilang,
eksistensinya digantikan oleh sejumput hitam yang menaungi. Malam, namanya.
Hujan baru saja berhenti, seolah mengerti bahwa bulan tak ingin diganggu oleh
padanan rintik.
Dua pasang kaki melangkah
statis, yang satu memakai sneakers
cokelat tua yang warnanya sudah memudar, yang satu memakai flat shoes hitam berpita. Meski begitu, langkah mereka seirama.
Selalu, dan akan selalu seperti itu.
“Maaf, ya, Nad, aku nggak pernah
bisa bikin kejutan anniversary yang
manis.” Caraka mengujar di antara langkah mereka. Suaranya terdengar berat dan
sedikit tercekat. Jika ditilik dari ekspresinya, wajahnya kaku dan tak lembut
seperti biasa.
Gadis di sebelahnya masih
terdiam. Tubuhnya terasa dingin, akibat liquid-liquid hujan mengguyurnya belum
lama ini. Bajunya basah, begitu pun dengan pemuda di sampingnya.
“Malah bikin kue kita hancur dan
kamu kuyup begini…” Lanjut Caraka.
Nadya menggeleng pelan, sama
sekali tak bermaksud membuat Caraka melankolis seperti ini. Kue anniversary yang ia beli memang hancur
karena hujan tadi, dikarenakan Caraka yang memintanya merayakan hari jadi di
taman bermain terbuka. Padahal, Nadya meminta merayakannya di kost-nya saja.
Bajunya pun basah, tapi sungguh, ia tak menyalahkan Caraka.
Tetapi raut penyesalan sangat
dengan mudah tertangkap dari wajah pemuda itu. Sesaat setelah kue mereka hancur
terkena hujan, perasaan bersalah menggerogotinya. Lagi-lagi ia menyesali
dirinya yang platonik. Mengapa tidak pergi ke café atau restauran saja yang
bernilai romantik?
“Udahlah, Ka. Aku nggak apa-apa,
kok. Lagi pula, hei—ini seru!”
Caraka tak mengubah ekspresinya.
Ia menoleh pada Nadya yang sedang tersenyum, hatinya tergelitik. “Maaf ya, Nad,
aku ini … emang bener-bener nggak romantis.”
Helaan napas terdengar dari
gadis di sampingnya, “Raka …apa kamu kira aku selalu menilai cowok dari
keromantisannya?”
“Tapi aku selalu ngerasa jadi
platonik di hadapan kamu, Nad. Dan aku tahu, suatu saat, kamu ingin yang lebih
dari ini.”
“Seperti?”
“Romantically?”
Sekali lagi, Nadya menghela
napas. “Ka … aku nerima kamu bukan hanya untuk hal seperti itu.” Netra lembut
Nadya menatapnya dalam-dalam. “Yang terpenting, bahwa kamu selalu ada kapan pun
aku butuh.”
Caraka memalingkan atensinya,
karena kalau tidak, ia takut Nadya melihat matanya yang berkaca-kaca.
“Aku nggak pernah nuntut kamu
jadi romantik, Ka.” Nadya melanjutkan. “it’s
been enough. Begini saja cukup.”
Kali ini, ia menoleh. Mendapati
wajah Nadya menatapnya seperti itu, sesuatu dalam dadanya tidak dapat ditahan
lagi. Dengan lembut, Caraka meraih tubuh Nadya, menariknya sedikit, lalu
mengecup bibirnya pelan.
Dan cepat.
Saat saling melepaskan, wajah
keduanya memerah. Setelah bertahun-tahun, inilah ciuman pertama mereka.
Menghilangkan salah tingkah,
Caraka buru-buru berujar. “I just want
you to know that you’re very special … and the only reason I’m telling you is—”
“—that I don’t know if anyone else ever has.” Nadya
buru-buru melanjutkan dengan senyum penuh kemenangan di antara rona pipinya. Ia
menepuk pelan pipi Caraka. “Kayaknya kamu harus mulai belajar bikin kata-kata
sendiri, deh, Ka. Jangan ngutip buku atau film terus kalau mau gombal!”
“Aa—aku lupa kamu udah
baca The Perks of being Wallflower.”
“Bahkan kamu minjem bukunya ke
aku, Raka!”
Caraka tertawa lebar. Begitu pun
Nadya.
Meleka melangkah melewati malam.
Menelusuri jalan-jalan becek bekas sisa hujan petang tadi. Menghirup bau rumput
serta petrichor. Saling menggenggam
tangan satu sama lain dengan erat.
“Nad, kalau kapan-kapan aku
ngajak kamu kencan lagi … kamu mau?”
Nadya menoleh, biner indahnya
berbinar penuh kegembiraan.
“I thought you’d never ask.”
.
.
End.
.
.
a/n:
Let
Go (beserta Caraka dan Nadya) punya Kak Windhy Puspitadewi
Platonik
punya Hidya Nuralfi Mentari ;p
Menulis
tentang mereka karena … rindu. Rindu Caraka dan Nadya yang saling mencintai
dengan sederhana :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar